Apa yang Kau Pikirkan ketika Memandang Langit?

Konsep-konsep yang akan menanamkan pada diri kita bahwa tidak ada yang bernama “Tuhan” maupun sesuatu yang beresensi “menciptakan” itu menjadi acuan akademis yang harus digunakan di seluruh dunia.

Seringkali aku berpikir, entah kenapa pemikiran-pemikiran orang-orang seperti Karl Marx, Hegel, dan sejenisnya begitu mempesona publik. Kelincahan berpikir yang kelihatannya begitu menakjubkan memang, benarkah? Orang-orang seperti mereka dianggap bisa berpikir beyond the lines, while the others can’t.

Konsep-konsep yang akan menanamkan pada diri kita bahwa tidak ada yang bernama “Tuhan” maupun sesuatu yang beresensi “menciptakan” itu menjadi acuan akademis yang harus digunakan di seluruh dunia. Cobalah ketik “Marxism” pada search engine, akan muncul lebih dari 20.000 situs yang membahasnya. Sovyet boleh hancur, tetapi komunisme-sosialisme tetap menjalari otak secara underground maupun yang paling ironis adalah lewat intelektual muda. Marxism digunakan sebagai referensi dan dasar-dasar teori akademis seperti di dunia sastra: Literary criticism, Marxism Problems of Linguistics, Rethinking Marxism, Marxism and Psychoanalysis, dan lain-lain.

Pertanyaan yang berulang kuajukan pada diriku sendiri adalah: Bagaimana bisa pemikiran semacam itu bisa mempesonakan banyak orang-orang “pintar”─ NB: yang tak tahu arah dan tak punya pegangan? Jawabannya mungkin seperti yang kukutip berikut ini:

Perhaps the answer lies in some of the core principles of Marxist thought that reality itself can be defined and understood, society shapes our consciousness, social and economic conditions directly influence how and what we believe and value, and Marxism details a plan for changing the world from a place of bigotry, hatred, and conflict due to class struggle to a classless society where wealth, opportunity, and education are accessible for all people.
Marxism declares that it provides a comprehensive, positive view of human life and history and attempts to show humanity how it can save itself from a meaningless life of alienation and despair.

Sejauh yang kutahu tentang orang-orang yang masih mengikuti paham ini, mereka begitu bangga dengan konsep yang Marx bawa yaitu dialectical materialism. Menurutnya, agama hanya akan menjadi candu yang menghambat aktivitas manusia. Pendapat mereka tidak pernah mempunyai batasan.

Marxism menjadi inti yang melahirkan banyak lagi pemikiran-pemikiran cabang, yang memiliki dasar pemikiran yang sama, seperti Post-structuralism, Post-modernism, dan lain-lain.

Konsep yang ditawarkan oleh post-modernisme, misalnya:
1. There’s no such thing so-called “universal truth” atau “absolute truth”. Facts and truth are created by assumptions. Mereka tidak mengakui adanya “kebenaran.” I’m speechless, though. Maksudku, ketika kebenaran yang hakiki diragukan, apalagi yang perlu dikatakan? Kerangka berpikir mereka benar-benar harus ditata dari awal, dari hati mereka, dari akidah mereka, dari cara mereka melihat diri mereka sendiri yang hanyalah manusia yang serba kurang, serba lemah, tak dapat menjangkau apa yang ada di balik this universe.
2. Moral-relativism.
Jadi, jangan heran kalau bertanya kepada orang-orang sosialis atau post-modernis apakah majalah Playboy itu baik atau buruk. Tidak ada jawaban pasti yang keluar. Paling-paling yang ada adalah pertanyaan balik, “Permasalahannya adalah tergantung seperti apa anda menanggapi pornografi.” Yang lebih ekstrem dan seringkali dilontarkan oleh para pelakunya sendiri adalah, “Itu kan seni, bukan pornografi.”
Konsep relativitas moral jelas membahayakan. Sedangkan kita yang beragama Islam telah memiliki standard moral sendiri yang sangat jelas, yaitu akhlaqul karimah yang dicontohkan oleh Rasulullah. Aku tahu orang JIL akan menolaknya mentah-mentah. Bagaimana tidak! Mereka juga memasukkan cabang filsafat, yaitu hermeneutika─yang bathil─yang mereka gunakan untuk menafsirkan ayat-ayat Allah. Atau mereka akan bilang, “Dari mana kau tahu yang ini yang benar, yang ini yang bathil. Kembalikan pada Tuhan.” Pokoknya, kalau diskusi dengan mereka tidak bakalan ketemu titik temu (kok diulang-ulang?), maksudku tidak akan menemukan solusi karena standard penentu yang dipakai sudah berbeda. Aku akan bahas masalah ini lebih jauh nanti saja ya, jadi gak fokus nih.
3. Creating your own standard values.
Ini jelas merusak, seperti yang terjadi sekarang. Value/ nilai yang dijadikan standard di seluruh dunia saat ini adalah liberty (kebebasan), atau bahasa yang membuatnya lebih acceptable adalah Human Rights (HAM-tanpa burger). Inul mau goyang ngebor? Wah, yang bela banyak banget ya, soalnya itu HAM katanya. Kalau masuk ke forum Undang-undang APP (entah bagaimana kabarnya sekarang), lebih banyak lagi pendapat-pendapat nyeleneh yang tidak pakai otak (maaf). Misalnya, pakai pakaian yang memperlihatkan paha atau apalah itu tidak apa-apa karena setiap orang mempunyai hak untuk menentukan apa yang ingin dilakukannya. Terus ada yang bilang bahwa salah sendiri punya otak ngeres, atau juga cewek yang menuntut agar orang lain tidak perlu melihatnya. Yang benar saja, Non. Semua orang punya mata dan punya fitrah naluriah yang sama.
Atau yang lebih parah, (sebenarnya susah juga menentukan yang mana yang lebih parah), AS menginvasi negara-negara muslim dengan dalih menegakkan demokrasi dan HAM. Oh, tidak! Apalagi ini! Demokrasi? Ya, demokrasi yang selama ini dielukan oleh banyak orang!
4. Humans free to choose their own sexuality.
Silakan tercengang...
dll
atau yang ini:
QUANTUM THEORY: "The law of causality is no longer applied in quantum theory." (Hukum Kausalitas tak lagi berlaku).
In order to be coherent, physicists today should no longer try to find the cause of a physical phenomenon. According to Heisenberg's statement, there is no cause, it is simple magic. Greenberger uses the same expression and states simply, "Quantum Mechanics is Magic".

Orang-orang Islam pun memakai konsep-konsep semacam itu. Sehingga ada yang menyebut diri mereka Islam-sosialis, Islam-nasionalis/ nasionalis-religius, Islam-liberal/ Islam moderat, dan lain-lain. Sungguh, Allah telah menyempurnakan Islam itu sebagai Ad-diin kita (agama, yaitu pedoman hidup kita), tidak akan bisa terkontaminasi dengan ide-ide yang berasal dari konsep kekufuran (sekularisme-kapitalisme ataupun sosialisme-komunisme). Islam ya Islam. Kufur ya kufur.

Kembali pada Karl Marx dan followers-nya. Sebenarnya, tidak akan terlalu menjadi masalah apabila Marxism, post-modernism, feminism, dsb dibawa ke kelas-kelas dalam rangka untuk diperkenalkan kesalahan kerangka berpikir mereka. Dengan begitu kita jadi lebih mengenal pemikiran mereka dan tahu bagaimana mematahkannya. Tetapi bukan malah mengajarkannya dan menjadikannya sebagai acuan.

Mungkin sebagian dari kalian menganggap bahwa akulah yang memang bloon gak bisa memahami pemikiran. Ya. kenyataan memang demikian. Dan aku menikmati ketidakpahamanku akan pemikiran mereka.Really.

Ketika aku merasa sangat gelisah, aku duduk menikmati langit. Aku jadi bertanya-tanya, orang-orang seperti mereka, apa yang mereka pikirkan ketika memandang langit?

Bagaimana denganmu? Apa yang kau pikirkan ketika memandang langit?


Previous
Next Post »